Tahun-tahun Tragis: Mengenang Periode Ketika Sekolah Bidan Sempat Ditutup di Indonesia (1975-1984)

Read Time ~ 2 minutes

Periode antara tahun 1975 hingga 1984 dicatat sebagai babak kelam dalam sejarah kesehatan Indonesia, khususnya bagi profesi kebidanan. Selama hampir satu dekade, Sekolah Bidan secara resmi ditutup oleh kebijakan pemerintah. Keputusan ini, yang didasari oleh penyederhanaan pendidikan tenaga kesehatan, secara tidak terduga menciptakan kekosongan besar tenaga medis yang kualifisied di lapangan, terutama di daerah.

Penutupan Sekolah Bidan ini dilakukan seiring dengan upaya pemerintah saat itu untuk menciptakan tenaga kesehatan multi-purpose melalui pembukaan Sekolah Perawat Kesehatan (SPK). Asumsi awalnya, lulusan SPK dapat juga menangani persalinan. Namun, perbedaan falsafah dan kurikulum yang mendasar antara keperawatan dan kebidanan membuat tujuan ini gagal tercapai secara efektif di lapangan.

Dampak Kepemimpinan dalam kebijakan ini terasa tragis. Penutupan Sekolah Bidan berarti tidak ada regenerasi bidan baru selama sembilan tahun. Dampak jangka panjangnya adalah semakin melebarnya kesenjangan antara kebutuhan masyarakat akan pertolongan persalinan yang aman dan ketersediaan tenaga profesional. Angka kematian ibu dan bayi diduga ikut terpengaruh oleh kelangkaan ini.

Selama periode ini, satu-satunya pihak yang tetap eksis dan berjuang adalah Ikatan Bidan Indonesia (IBI). IBI memainkan peran vital dalam menjaga semangat profesi di tengah vakumnya pendidikan formal. Perjuangan Bidan yang sudah ada berlanjut Mati Matian untuk memberikan pelayanan dan menjaga standar praktik, meskipun tanpa adanya asupan lulusan baru.

Sekolah Bidan baru dibuka kembali secara bertahap mulai tahun 1985. Keputusan ini diambil setelah menyadari kebutuhan mendesak akan tenaga bidan yang spesifik untuk menurunkan tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Pembukaan kembali ini menandai dimulainya era baru pengembangan pendidikan kebidanan di Indonesia.

Pembukaan kembali Sekolah Bidan pada tahun 1985 kemudian berkembang menjadi Program Pendidikan Bidan (PPB) dan akhirnya ke program Diploma III (D-III) Kebidanan. Jejak Perjuangan ini menunjukkan pengakuan pemerintah akan peran tak tergantikan bidan dalam pelayanan kesehatan primer, terutama dalam ranah kesehatan ibu dan anak.

Mengenang tahun-tahun tragis penutupan Sekolah Bidan ini adalah pengingat penting bagi pembuat kebijakan. Standardisasi dan penyederhanaan sistem kesehatan harus dilakukan dengan pertimbangan yang sangat matang, tidak mengorbankan spesialisasi esensial. Setiap profesi memiliki peran unik yang tidak bisa digantikan secara mudah oleh profesi lain.

Kesimpulannya, penutupan Sekolah Bidan dari tahun 1975 hingga 1984 adalah masa kelam yang meninggalkan luka dalam sejarah kebidanan Indonesia. Kisah ini menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya dukungan pemerintah terhadap profesi yang menjadi garda terdepan keselamatan ibu dan anak, memastikan bahwa kejadian serupa tidak terulang kembali di masa depan.